Mishnah (Ibrani משנה, "pengulangan"), adalah catatan
tulisan dari Hukum Lisan Taurat dari orang-orang Yahudi dari generasi ke generasi.
Keyakinan
tersebut dapat dilihat dari apa yang dimuat di dalam Mishnah, "Musa
menerima Taurat di Sinai dan menyerahkannya kepada Yosua, Yosua kepada para
tua-tua, dan para tua-tua kepada nabi-nabi. Lalu nabi-nabi menyerahkannya
kepada pria-pria dari kumpulan banyak orang"[1] Mishnah mengaku memuat keterangan yang
diterima Musa di Gunung Sinai—bagian dari Hukum Elohim kepada Israel yang tidak tertulis. Pria-pria dari
kumpulan banyak orang (belakangan disebut Sanhedrin) dianggap sebagai bagian dari sederetan
panjang sarjana-sarjana berhikmat, atau cendekiawan, yang secara lisan
menyampaikan ajaran-ajaran tertentu dari generasi ke generasi hingga akhirnya
ini dicatat dalam Mishnah.
Daftar isi
- 1 Latar Belakang Terbentuknya Mishnah
- 2 Konsolidasi Hukum Lisan
- 3 Pembuatan Mishnah
- 4 Lihat pula
- 5 Referensi
Latar Belakang Terbentuknya Mishnah
Kepercayaan
akan suatu hukum lisan ilahi sebagai tambahan bagi Hukum Musa yang tertulis tidak dikenal pada masa
penulisan Alkitab yang berlangsung di bawah ilham ilahi.[2] Berabad-abad kemudian ada suatu
kelompok dalam Yudaisme yakni orang-orang Farisi, yang
mengembangkan dan mempromosikan konsep hukum lisan ini. Selama abad pertama M,
orang-orang Saduki dan orang-orang Yahudi lain menentang ajaran yang tidak
berdasarkan Alkitab ini. Akan tetapi. Selama bait
di Yerusalem masih menjadi pusat ibadat Yahudi, sengketa hokum lisan hanyalah masalah
sekunder. Ibadat di bait memberikan struktur dan stabilitas hingga taraf tertentu
terhadap segala unsur kehidupan bangsa Yahudi.
Namun, pada
tahun 70 M, bangsa Yahudi menghadapi krisis agama dalam skala yang sulit
dibayangkan. Yerusalem dibinasakan oleh legion Romawi, dan lebih dari satu juta
orang Yahudi terbunuh. Bait, pusat dari kegiatan rohani mereka, musnah.
Merupakan hal yang mustahil untuk menjalankan Hukum Musa, yang menuntut
persembahan korban dan dinas keimamam di bait. Bait fondasi Yudaisme tidak ada
lagi. Sarjana Talmud bernama Adin Steinsaltz menulis, “Kebinasaan . . . pada
tahun 70 M itu mengakibatkan timbulnya kebutuhan mendesak akan rekonstruksi
sekuruh kerangka kehidupan beragama”. Orang-orang Yahudi pun mulai
melakukannya.
Bahkan sebelum Bait Suci dibinasakan, Yohanan Ben Zakkai, murid
kehormatan dari pemimpin kaum Farisi bernama Hilel,
mendapat izin dari Vespasianus (calon
kaisar) untuk memindahkan pusat ibadat Yudaisme dan Sanhedrin dari Yerusalem ke Yavneh (Yabne). Sebagaimana dijelaskan
Steinsaltz, setelah kebinasaan Yerusalem, Yohanan Ben Zakkai “menghadapi
tantangan untuk mendirikan pusat keagamaan yang baru bagi masyarakat dan
membantu mereka menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru sementara gairah
agama perlu dialihkan kepada suatu titik tumpu lain, apalagi sekarang setelah
Bait tidak berfunsi lagi”. Titik tumpu itu adalah hukum lisan.
Dengan
runtuhnya Bait, oang-orang Saduki dan sekte-sekte Yahudi yang lain tidak
mempunyai pilihan. Orang-orang Farisi menjadi sekte utama Yahudi, menyatukan
kelompok-kelompok yang saling bertikai itu. Dengan menekankan persatuan, pra
rabi yang terkemuka tidak lagi menyebut diri mereka Farisi, sebutan yang dapat
memberikan kesan sektarian atau partisan. Mereka menjadi terkenal dengan
sebutan para rabi, “cendekiawan Israel”. Para cendekiawan ini hendak
menciptakan semacam wadah untuk menampung hokum lisan mereka. Ini berbentuk
struktur kerohanian yang lebih tangguh terhadap serangan manusia dibandingkan
dengan bait.
Konsolidasi Hukum Lisan
Meskipun
akademi kerabian di Yabne (40 Kilometer sebelah barat Yerusalem) sekarang menjadi pusat utama,
akademi-akademi lain yang mengajarkan hukum lisan mulai bermunculan di seluruh Israel dan bahkan hingga ke Babilon dan Roma.
Akan tetapi, ini menimbulkan masalah. Steinsaltz menjelaskan, "Kalau saja
semua cendekiawan berkumpul bersama dan pekerjaan akademi utama dilaksanakan
oleh satu kelompok pria saja (di Yerusalem), keseragaman tradisi tetap
terpelihara. Tetapi bertambahnya jumlah guru dan didirikannya sekolah-sekolah
yang terpisahkan menghasilkan . . . rumusan dan metode pengungkapan yang
berlebih-lebihan".
Guru-guru hukum
lisan disebut Tannaim, sebuah istilah yang berasal dari akar kata dalam bahasa Aramaik yang artinya
"mempelajari", "mengulangi", atau "mengajar". Ini
menekankan bahwa metode mereka dalam belajar dan mengajar hukum lisan banyak
menggunakan pengulangan dan penghafalan. Agar mudah menghafalkan tradisi lisan,
setiap kaidah atau tradisi diringkas menjadi frasa-frasa yang singkat namun
padat. Lebih sedikit kata-katanya lebih baik. Bentuk yang puitis dan bergaya
konvensional digunakan, dan frasanya sering kali dilantunkan atau dinyanyikan.
Namun, kaidah-kaidah ini tidak terorganisasi, dan dari satu guru ke guru yang
lain, terdapat banyak sekali variasi.
Rabi pertama
yang memberikan bentuk dan struktur yang spesifik pada begitu banyak tradisi
lisan yang berbeda adalah Akiba ben Joseph (sekitar tahun 50-135 M).
Tentangnya, Steinsaltz menulis, "Orang-orang yang seangkatan dengan di
membandingkan kegiatannya dengan pekerjaan seorang buruh yang pergi ke ladang
dan memasukkan secara acak segala sesuatu yang ia temukan ke dalam
keranjangnya, kemudian pulang ke rumah dan menyusun masing-masing jenisnya.
Akiba telah meneliti sejumlah besar pokok yang tidak terorganisasi dan
mengklasifikasikannya meenjadi kategori yang terpisah.
Pada abad kedua
M—lebih dari 60 tahun setelah kebinasaan Yerusalem pemberontakan Yahudi besar-besaran melawan Romawi terjadi untuk
kedua kalinya di bawah pimpinan Bar Kokhba. Sekali lagi, pemberontakan membawa
bencana. Hampir satu juta orang Yahudi menjadi korban, termasuk Akiba dan
banyak dari antara dari murid-muridnya. Harapan apa pun untuk membangun kembali
bait lenyap sewaktu Kaisar Romawi Hadrian mengumumkan bahwa Yerusalem tertutup
untuk orang-orang Yahudi, kecuali peringatan tahunan kebinasaan bait.
Para Tannaim yang
hidup setelah Akiba tidak pernah melihat bait di Yerusalem. Tetapi pola
terstruktur dari penelitian terhadap tradisi-tradisi hukum lisan menjadi
"bait", atau pusat ibadat mereka. Pekerjaan dimulai oleh Akiba dan
murid-muridnya dalam mengukur struktur hukum lisan yang dilakukan oleh Tannaim
terakhir, Judah ha-Nasi.
Pembuatan Mishnah
Judah ha-Nasi
adalah keturunan Hillel dan Gamaliel. Ia lahir pada masa
pemberontakan Bar Kokhba, dan belakangan, ia menjadi pemimpin masyarakat Yahudi di Israel menjelang abad kedua hingga awal
abad ketiga M. Gelar ha-Nasi yang berarti "pangeran", menunjukkan
statusnya di mata sesama orang Yahudi. Judah ha-Nasi mengepalai akademinya
sendiri dan Sanhedrin, mula-mula di Bet She'arim dan belakangan di Shepphoris,
Galilea.
Menyadari bahwa
konflik yang timbul dengan pemerintah Romawi di kemudian hari dapat
membahayakan penyampaian hukum lisan, Judah ha-Nasi bertekad untuk
menstrukturisasi hukum itu guna melestarikannya. Di akademinya, ia
menghimpunkan sarjana-sarjana yang terkemuka pada zamannya. Setiap pokok dan
tradisi hukum lisan didiskusikan. Penyajian akhir dari diskusi-diskusi ini
dikonsolidasikan menjadi frasa-frasa yang amat ringkas, mengikuti polayang kaku
dari prosa Ibrani yang puitis.
Penyajian akhir
ini diatur dalam enam divisi utama, atau Perintah, berdasarkan topik-topik
utama. Judah membaginya lagi menjadi subdivisi yang terdiri dari 63 bagian,
atau traktat. Sekarang struktur kerohanian itu telah rampung. Sebelumnya,
tradisi-tradisi demikian selalu disampaikan secara lisan. Tetapi sebagai
perlindungan tambahan, langkah akhir yang revolusioner ditempuh—yaitu dengan
menuangkan semua hukum lisan tersebut dalam bentuk tulisan. Struktur tertulis
baru yang mengesankan yang menampung hukum lisan ini disebut Mishnah. Nama
Mishnah berasala dari kata Ibrani.